Blog Official Eko Rudianto yang membahas tentang Blogger , Makalah, Artikel , Religi, Wisata dan lain-lain

Sunday, October 12, 2014

Sekilas Riwayat Kiai Umar Al-Muayyad Solo

Wasiate Kiai Umar maring kita
Mumpung sela ana dunya dha mempengo
Mempeng ngaji ilmu nafi’ sangu mati
Aja isin aja rikuh kudu ngaji

Syair yang diambil dari Sholawat Wasiat tersebut, akan menyambut para peziarah saat masuk ke makam KH Umar Abdul Mannan di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta. (Pesan Kiai Umar kepada kita// Mumpung masih hidup mari membiasakan diri// Membiasakan diri mengaji ilmu yang bermanfaat untuk bekal mati// Jangan malu dan sungkan untuk mengaji)

Kiai Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 merupakan seorang tokoh ulama kharismatik dari Solo. Menurut pengasuh Pesantren Al-Inshof Mojosongo, KH Abdullah Sa’ad, Kiai Umar termasuk sebagai salah satu ‘cagak bumi’ pada zamannya (di era 1980-an,-red). “Kiai Maksum Lasem suatu ketika pernah menyebut, ada beberapa ulama yang menjadi ‘cagak bumi’, mereka yakni KH Arwani Amin Kudus, KH Abdul Hamid Pasuruan, Habib Anis Al-Habsyi Solo dan KH Umar Abdul Mannan Solo,” ungkapnya pada sebuah kesempatan.

Tidak hanya itu, K.H. Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri, juga pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.

Berawal dari Sebuah Langgar

Dari beberapa kesempatan kami berziarah ke sana, makam Kiai Umar setiap hari hampir tak pernah sepi dari peziarah. Apalagi ruang kecil di sebelah utara masjid pondok itu, sering digunakan untuk tempat mengaji para santri. Para santri meneruskan apa yang telah dirintis oleh Kiai Umar, sejak puluhan tahun yang lalu. Seperti halnya para santri, sejatinya Kiai Umar pun meneruskan apa yang telah dibangun oleh para pendiri.

Dahulu, sebelum berdiri pondok dan masjid, kegiatan pengajian yang dipimpin KH Abdul Mannan masih dipusatkan di sebuah langgar panggung di kampung Mangkuyudan. Pada tahun 1937, Kiai Abdul Mannan memanggil Umar muda yang tengah nyantri, untuk pulang kampung, menggantikan mengelola langgar.

Pada perkembangannya, langgar panggung tersebut semakin ramai dengan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan, bagian bawah langgar pun tak cukup untuk menampung tempat tinggal para santri. Melihat kondisi ini, tergeraklah hati masyarakat untuk membantu Kiai Umar.

Pada zaman pendudukan Jepang, mereka kemudian bergotong-royong membangun masjid dan pondok. Hingga akhirnya, berdirilah sebuah bangunan di atas tanah seluas 3.500 m2 yang dijariyahkan oleh K.H. Ahmad Shofawi di Mangkuyudan, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Masjid tersebut kemudian oleh KH Manshur Popongan diberi nama ‘Al-Muayyad’ yang artinya ‘dikuatkan’.

Pendidik Handal

Sebelum pulang kampung, Kiai Umar sempat nyantri di beberapa pesantren diantaranya Termas Pacitan, Mojosari Nganjuk, Popongan Klaten dan Krapyak Yogya. Di pesantren yang terakhir disebut inilah, Kiai Umar mendapatkan silsilah keilmuannya di bidang Al-Quran, yang bersambung mulai dari pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta KHR Moehammad Moenawwir hingga Nabi Muhammad saw.

Oleh sebab itulah, Sebutan Pesantren Alqur'an juga melekat kuat pada Pesantren Mangkuyudan, sebutan lain Al-Muayyad, hingga sekarang. Pada zaman itu, Kiai Umar menjadi rujukan utama bagi santri-santri yang ingin mengaji Al-Qur'an, baik bin nazdor ataupun bil ghoib. Kepada Kiai Umar, santri-santri di berbagai penjuru untuk menyambungkan sanad dan ngalap berkah Kiai Moenawwir Krapyak.

Meski demikian, tidak semua santri mendapatkan ijazah atau sanad langsung dari Kiai Umar. Sebab, Kiai Umar terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qur'an-nya ribuan, namun tidak banyak santri diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Quran. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlak, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.

Dalam mengajar Alquran, selain telaten dalam mendidik Kiai Umar juga memiliki cara tersendiri. Hal ini diungkapkan salah satu keponakannya, KH M. Dian Nafi’. Menurut Kiai Dian yang kini mengasuh Pesantren Al-Muayyad cabang Windan Sukoharjo, ia begitu kagum dengan cara menanamkan hafalan Alquran Kiai Umar kepada para saudaranya yang masih kecil.

“Cara mendidik Mbah Umar kepada adik-adiknya seperti sedang ‘bermain’. Sehingga, adik-adik beliau sudah dapat hafal Alquran dalam waktu usia yang relatif masih kecil. Saya menyebut metode tersebut dengan istilah bahasa abjektif. Yakni, bahasa tanpa gramatika, seperti bahasa bayi, tak terstruktur tapi dapat dipahami orang di sekitarnya. Bahkan, memiliki muatan pesan yang universal,” terang Wakil Rais Syuriyah PWNU Jateng itu.

Dari metode tersebut ikut memberi andil, sehingga adik-adiknya di kemudian hari juga menjadi para ahli Alquran. Mereka antara lain KH M Nidhom (Pendiri Pesantren di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo) dan KH Ahmad Jisam (Pendiri Pesantren Gondang Sragen).

Pada kurun waktu hingga awal 70-an, lahir pula generasi santri yang kelak menjadi ulama besar di zamannya, diantaranya KH Salman Dahlawi (Pesantren Al-Manshur Popongan/Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah), KH Baidlowi Syamsuri (Pengasuh Pesantren Sirojut Tholibin Brabu), KH Nuril Huda, KH Ma’mun Muro’i dan lain sebagainya.

Ikut Membesarkan NU

Di tengah kesibukannya dalam mengajar, Mbah Umar ikut memperhatikan keberlangsungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, khususnya di wilayah Soloraya. Di masa kepemimpinannya, Al-Muayyad bergabung menjadi anggota Rabithah al Ma’ahid al Islamiyyah Nahdlatul Ulama dengan Nomor Anggota: 343/B Tanggal: 21 Dzul Qa’dah 1398 H/23 Oktober 1978 M di bawah pimpinan KH Achmad Syaikhu.

Wakil Ketua PCNU Surakarta H Hari Mas’udi menuturkan meskipun Mbah Umar tidak pernah mengemban amanah di kepengurusan NU secara struktural, namun dukungannya kepada NU begitu luar biasa.

“Salah satu kisah, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi, setelah istikharah Mbah Umar langsung mengganti plang Masyumi yang tadinya dipasang di sekitar kompleks pondok dengan plang NU,” ujarnya.

Pun ketika terjadi kemelut pada NU, yang berujung pada terbelahnya NU menjadi “dua kubu”, yakni “kubu Situbondo” dan “kubu Cipete”. Kiai Dian Nafi’ yang kala itu masih muda, bertanya kepada Kiai Umar perihal kejadian ini. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh Kiai Umar sebagaimana dikisahkan oleh KH Yahya Cholil Staquf.

“Orang itu pangkatnya lain-lain. Ada yang pangkatnya memikirkan NU, ada yang pangkatnya mengurusi NU. Lha kita ini baru sampai pangkat mengamalkan NU. Ya sudah, bagian kita ini saja kita laksanakan. Mengajar santri, ngopeni orang kampung. Jangan sampai terlalu banyak orang memikirkan dan ngurusi NU tapi langka yang mengamalkannya,” jawab Kiai Umar.

KH. Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juni 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.

Salah seorang santri bercerita, dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itu berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya.

Sekian posting dari saya tentang Sekilas Riwayat Kiai Umar Al-Muayyad Solo. Mohon Maaf bila ada kesalahan kata, Semoga postingan ini dapat Bermanfaat bagi anda dan kita semua.
http://wisatatelukkiluan.com

G+

0 komentar:

Post a Comment

Tour & Travel Lampung

Copyright © Eko Rudianto Blogs Sponsored by Wisata Teluk Kiluan | Powered by Blogger